Copyright © dahanpinus
Design by dahanpinus
Dec 19, 2005

bagimu



engkau begitu dekat waktu itu
sampai tak bisa aku merasakan kedekatanmu,
terbius dan mati rasa walau ada stimuli
seperti yang seringkali kau katakan bahwa engkau
saat itu adalah seekor gajah dipelupuk mata,
yang tak akan pernah tampak, bahkan membutakan.

selalu kuabaikan saat didekatmu,
tapi begitu merindukan saat benar jauh darimu

bahagia dan derita semua tampak biasa saat itu
seluruhnya meninggalkan luka menganga tanpa terobati
berkerubut serangga mencoba menginfeksi

segalanya tampak begitu jauh sekarang
meski kesan lukanya menetap dalam,
dengan racun yang enggan pergi
bahkan masih saja membuat mual di pagi hari

disini aku meraih salah satu mimpi,
yang pernah kita ucapkan dalam pening kepala
dan malaikat pencabut nyawa disisi

disana kau sudah pergi, dan memang harus pergi
meninggalkan kemarahan dan senyuman di stasiun, sungai,
pasar boulevard dan jalan2 yang dulu kita dewakan
dan wajib kita cambangi
memberi arti bagi sudut-sudut kota hingga selalu menarik hati

engkau tahu denganmu aku belajar jadi lelaki,
kau berikan apa saja untuk aku pelajari
walau aku berbohong bila kukatakan saat itu aku menjadi lelaki

tapi denganmu aku sadari,
bahwa lelaki bukanlah dari kemenangan
dan penaklukan yang aku lalui,
tapi terpancar dari kedamaian binar matamu yang tak henti

kini aku kembali disini,
seorang laki-laki tanpa kau disisi
dengan cita2 yang kusambut sendiri,
dan sungguh sayang tanpa bersamamu terlewati

tapi engkau adalah pelita sejati,
berkontradiksi bagai dua sisi dalam satu mata uang
pernah menyesatkan dalam goa yang hitam kelam sekaligus
kembali membawa dalam jalan terang benderang

tak pernah ku menyesal hati
karena itu rancangan yang harus ku lalui
untuk menjadi lelaki,
bukan ! tapi manusia yang berhati,
yang belajar dari kerasnya jalanan
dan melihat terang dari sisi gelap yang menakutkan

terimakasih,
kau pernah ada disisi,
dan masih meninggalkan sudut-sudut kota berarti
untuk senantiasa aku nikmati saat kembali
dan mengenang ketiadaan,
serta berbisik untuk persembahkan pencapaian ini,

bagimu

---
Smg-yk, 19-12-2005
---
Dec 15, 2005

Tidak

Dik,
Sungguh sebuah kata "tidak", sangat berarti bagiku, dulu, kini atau mungkin nanti.
Saat itu pertama kali ayah mempertanyakan, gadis kecil yang sering meneleponku itu sebagai pacarku. Tentu saja aku jawab tidak. Meskipun sungguh, dia begitu mengisi masa beliaku, menyeret dalam permasalahan, banyak juga keceriaan.

Juga kuingat, saat ibu mengingatkanku agar mengutamakan sekolah daripada main band, aku juga buru-buru menjawab tidak. Walaupun sungguh, itu adalah hidupku membunuh sepiku, dan menerbangkan egoku membumbung tinggi melayang bersama nada.

Atau, ketika teman-teman band memergoki kaset cengeng debbie gibson dalam kamarku. Tetap saja aku menjawab tidak. Padahal, sungguh "lost in your eyes" begitu membuatku termenung terpaku dalam kaitan masa lalu, bersama gadis kecilku.

Dan ketika beberapa orang menanyakan tentang buku-buku karl marx, gramsci atau lenin dalam kamarku. aku masih saja berkelit dengan kata tidak, dan aku bukan marxis, aku seorang eksistensialis-humanis. Meskipun, aku selalu obsesikan untuk aplikasikan konsepnya dalam keseharian.

Atau saat pertemuan pertama dan terakhir setelah beberapa tahun berlalu. Aku jawab tidak, untuk sebuah pertanyaan tentang beberapa teman dekat yang engkau curigai. Walaupun, sungguh mereka mengembalikan warna-warni dari hitam dan putih saat kau tinggal pergi, dalam janji yang tak kutepati

"Tidak" adalah keindahan bagiku,
meski kadang menyeret dalam siksa permasalahan dalam, sedalam peniadaan kebenaran hati, yang terasa indah apabila tidak terucapkan.

Dan beberapa pertanyaan menjadi tertutup jawabnya.
Buta akan pencarian, terhalang dalam penelusuran
Dengan sebuah penyangkalan, demi cinta atau apapun, yang kulakukan dengan kesadaran setulus jiwa, tapi tak dapat jujur ungkapkannya,
karena beberapa akan terluka,
benarkah adikku ?
atau,
Tidak ?
---
Semarang, 15 Desember 2005. 0:13
---
Dec 14, 2005

sebuah jawaban yang dicari



kunanti kau kembali
meski ada yang mencaci
dengan perspektif feminis,
atau patriarkis,
bahkan etis

mempertanyakan sepi yang kita yakini

dan akan kujawabi
segala yang akan menanyai
bahwa engkaulah kepingan hati
teman pencari filosofi

---
Semarang, beberapa bulan yang lalu 2005
---
Dec 12, 2005

untuk nuansa hati terbaik



untuk nuansa hati terbaik
ingin kusimpan di lubuk kalbu
akan ku copy dan paste
agar tiap waktu mudah kuganti
apa saja yang buatku tak sukai

saat kau mulai mencaci
membenci momen terlewati

meski dulu kita pasangan serasi
peneliti dan pencari filosofi
dengan kapabilitas dan kompetensi

keadaan kini tak dapat kupungkiri
kompetensi dibutuhkan berkembang pasti
tertinggal karena tak mampu meresapi

dan aku terhenti,

seperti bunga dahlia yang terlalu mengagumi gunung
dan tersiksa atau mati diterik pantai
Dec 2, 2005

kolibri di hari hujan

hujan betah berderai sepanjang pagi
karenanya kolibri bosan menanti
kekasihnya yang enggan mekar
karena mentari masih berselimut awan

berkicau mengumpat kesana kemari
karena raga tak dapat kompromi
lapar sehari memang tak membuat mati
tapi esok hari, dan esoknya lagi?

beralih ke mawar yang mekar sepanjang hari
adalah satu pilihan untuk selamatkan diri
dan menggadaikan kepercayaan
yang terukir bersama teratai

tapi,
biarlah mawar yang mempesona
menggelitik rasa lapar dan dahaga
asal janji terjaga
dan kesabaran yang menjadi raja

---
Semarang, 2 Desember 2005
---
Dec 1, 2005

Kebenaran Subyektif

Seringkali dalam hubungan keseharian, kita menumpahkan segenap perasaan hati kita kepada orang lain dengan beraneka pesan. Pesan yang disampaikan tersebut menurut Wittgentstein memiliki 2 dimensi yaitu transaksional dan Interaksional. Adapun transaksional adalah suatu pesan komunikasi yang memiliki isi berita atau informasi, sedangkan interaksional berarti suatu pesan komunikasi berfungsi hanya sebagai penjalin hubungan, pemecah kesunyian, sekedar basa-basi (icebreaker). Seorang mahasiswa dari luar kota yang menulis surat tiga kali seminggu untuk pacarnya bisa jadi contoh dari komunikasi yang bersifat interaksional, dimana tujuan utama dari berkirim surat bukanlah utama sebagai penyampai berita tetapi lebih kepada menulis surat itu sendiri sebagai tujuan untuk memperkuat hubungan. Tentu saja konteks tersebut akan berbeda saat mahasiswa yang sama berkirim surat pada akhir bulan kepada orang tuanya, mengingat kebutuhan mahasiswa akan pemberitahuan bahwa uang bulanannya habis dan minta segera dikirim.
Dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain acap kali menyinggung diri personal oarang lain atau dengan kata lain kadang kala tidak secara proporsional mencela orang lain. Sebagai makhluk individu sekaligus sosial manusia secara instingtif selalu berusaha untuk menjalin hubungan kepada sesama (intersubyektif). tentu saja hubungan tersebut terwujud dengan adanya komunikasi. Komunikasi yang terjadi sebagai tindakan sosial manusia seringkali melibatkan berbagai macam topik, topik tersebut terbentuk dari tingkat keakraban individu. Keakraban yang berdasarkan trend of interest (ragam kepentingan), seperti : ras, klas, gender, agama dan latar belakang lainnya.
Jadi seringkali kebenaran itu berangkat dari ragam kepentingan para individu sebagai penafsir dan penyampai pesan dalam melakukan interaksi sosial. Kebenaran adalah subyektif kira-kira begitulah pernyataan yang diyakini oleh sebagian besar filsuf eksistensialis. Pernyataan tersebut berarti bahwa interpretasi dan persepsi serta nilai kebenaran masing-masing individu bisa jadi berlainan. Keberagaman persepsi tersebut merupakan analisa kesadaran yang berhubungan dengan beberapa obyek yang ditekankan kepada obyek-obyek terseleksi (pengalaman). Kebenaran menurut filsuf Amerika, Whitehead merupakan suatu konformitas (penyesuaian diri) dan kualifikasi dari kehadiran suatu realita. Kebenaran adalah sebuah kualitas dengan masing-masing tingkatan dan ragam.
Sebenarnya kebenaran memiliki aspek yang misterius, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche, “jika cadar kebenaran itu dibuka apakah kebenaran itu tetap ada sebagaimana dulu kebenaran itu diyakini.” Tidaklah berlebihan jika kebenaran yang dibuat oleh manusia selalu berubah-ubah nilainya sesua dengan kondisi sosio-ekonomis dan ideologis manusia pelakunya.
Karena kebenaran itu subyektif maka seseorang hanya dapat menghidupkan gagasan kebenaran yang berubah (Jean Baudrillard). Jka pada Orde baru tindakan demostrasi adalah tindakan yang tidak dibenarkan, maka demonstrasi pada saat ini boleh jadi dibenarkan dan tentunyapara pelakunya tidak serta merta ditangkap dan dimasukkan sel sebagaimana pada Orde Baru.
Menganalogikan pada fenomena diatas, maka sering kali manusia mempergunakan bahkan memaksakan kebenaran diri beserta standarisasi nilai-nilai kebenaran diri kepada realita dan fenomena yang melekat pada orang lain. Dari kacamata itulah maka, menurut diri sendiri “tidak ada orang lain yang lebih baik”. Kerangla keyakinan dan ideologi diri seringkali berfungsi sebagai camera obscura, sehingga realita yang terekam di benak akan direpresentasikan terputar balik sesuai persepsi diri kita.
Memang tak ada salahnya memberikan pandangan bahkan kritik kepada pihak lain, sejauh hal tersebut sekaligus sebagai cermin diri, sehingga menyadari bahwa kesempurnaan bukan milik diri, dia adalah sebuah prosesi atau jalan menuju kebijakan diri.
Menurut Mead, manusia perlu memahami bahwa kesalahan dan kekurangan orang lain bisa juga menjadi kesalahan dan kekurangan kita. Kita dapat memahami diri kita melalui pandangan orang lain terhadap kita (generalized others), atau dengan kata lain kita mengambil peran sebagai orang lain (role taking), sehingga lebih arif dalam menilai orang lain.
Dan yang perlu diingat ialah bahwa kebenaran atau nilai yang kita yakini terhadap orang lain (stereotip), bukanlah persepsi yang netral dan bebas nilai serta mutlak benar, sehingga rasanya tak manusiawi jika kita memaksa orang lain, untuk mengikuti atau menggunakan kacamata kebenaran kita bahkan menghakimi orang lain dengan sudut pandang kita.