Copyright © dahanpinus
Design by dahanpinus
Jul 31, 2006

batu bertulis henti


tempatku berpijak adalah sunyi
di depan satu demi satu benih pudar berhenti

tumbuh mati dini
sisanya pergi menjadi lalapan ayam di pagi hari
satu hati layanan tak sepatutnya dibagi

membagi telah membuyarkan konsentrasi
terbiar benih dijamahi air dingin dan terik sinar

jika satu persatu kutanyai
mereka mendudukkanku pada pesakitan
patut mendapat hukuman dera tak henti
satu cambuk, dua, atau tak terhingga
tak mungkin dapat kembalikan raga kembali
atau tak perlu tanyai mereka
undang kembali dan tanyai saja hati yang telah tinggalkan
hukuman pasti akan datang merepih seiring tak berdaya kibaskan

apa yang dapat kugantikan
sesal terdengar picisan untuk diungkap dalam kenyataan yang telah diramalkan
jiwa berdebu tak pantas gantikan jiwa bersinar suci
atau haruskah jiwa suci terkorban untuk pesonakan cahaya terangi hati
karena menari di atas derita butuh hati sekeras batu
dan empati yang dilafalkan tak memperturutkan hati
itulah diriku;
esensi tertutup narasi dan kemasan tiba saatnya menjadi interpelasi

apakah dapat kugantikan,
jiwa suci itu, atau waktu berulang
sementara sesal bukanlah penawar
untuk memperbaiki perhatian hanya pada benih
sekuat kujaga agar bertahan tak direngut ancaman

sesal hanya milik pecundang,
terima dengan lapang atau mati karena bertahan telah melelahkan

sunyi tak sepantasnya merengut
paling tidak kau sisakan senyum
pada batu bertuliskan ;

henti
juga,
sepi

---
untuk puji (selamat tinggal...)
Jul 25, 2006

Tuhan, beri kami...


beri pertanda yang mudah tercerap
dari awan, angin dan pepohonan
yang memaksa untuk dimengerti
menggaris batas sadar
setidaknya mampu berkemas
membawa buku beku dan roti kering
untuk temani berlari

beri penanda sebelum terjadi
dari kepulan asap, juga suara langit
untuk dicatat hari ke masa
terpatri memupus gusar menata keyakinan hati
hingga terbentuk pondasi lentur
dimana berpijak terbangun materi baru
dan nanti robohpun jiwa tetap ada kembali

tunjukkan jalan,
untuk kurengkuh badai yang menyisir tak henti
dan kugunakan sebagai media menyatukan jiwa dan pemiliknya
seperti angin yang sedang menemukan arahnya

sampai aku menemukan mu, Tuhan
---
Jul 21, 2006

sajak


engkau mungkin selalu tahu
ketika masih kuperas daya ingatku
engkau mungkin tak pernah ragu
ketika masih kusimak langkah kakiku

hanya yang mana tak gamang kuterka
juga kadang lenyap dari kerlip mata

engkau gampang mengenalku

aku hanya menulis sebuah titik
sedapat yang mampu bisa kutakik
selanjutnya adalah huruf-hurufmu

aku hanya menghitung lintasan detik
sejauh yang lain bisa kupetik
selanjutnya adalah untaian waktumu

asap lilinmu mengawan, tuhan
kuingin jadi lain, diam diam diam
kuingin basah hujan
dan gemuruh lautan

*makasih BS:"sebutlah ia @$--"
Jul 13, 2006

runtuh daun tak sentuh


runtuh daun tak sentuh
senjang letak terpagut dahan
rentang batas akhir semu

runtuh daun tak sentuh
kuasa tertempuh makam
tafsir terbumikan rapuh

buku bersampul kaku
belum meracuni darah, terselesaikan untukmu
terlalu lama ku eja satu persatu
juga meminta laut dan hutan terangkan pikirku
hingga bermuara satu
dalam diriku

mengalir bagai candu dalam pusaran butuh
tubuh terengkuh gusar terjebak lingua
mencari bentuk terpisah dari nyata

runtuh daun tak sentuh
tujuan terinjak lalu lalang
rencana tersekat kesesuaian

dalam hening, buku tak sempat tertempuh
tafsiran rapuh melenguh

sebuah titah entah
tunjukkanlah suluh kesetiaan dari jauh
buatkanlah berkasberkas nada untuk dilagukan
atau mantra yang kuhafal untuk luruhkan debu jadi tanah

runtuh daun tak sentuh
rubuh dahan benalu tumbuh
sepi tertegun kukuh
---
Jul 6, 2006

Bukit


sebut saja aku bukit, mencoba pasangsiapkan jiwa
agar secepatnya dapatkan raga, juga keindahan yang tercerap mata
dari roh dedaunan dan remahan hewan yang merasuk menjadi mahoni atau jati. mengelola padang rumput teki memerangkap embun di perpindahan gelap terang hari. sore hari mengamati burung gereja
bercanda di pucuk-pucuk tabuleia sampai pendar kelam pandangan.

sepertinya cahaya mengagumi. jamahi setiap lekuk di sudut curam bertekuk. terpuaskan pada padang membentang, memelas pada setiap kelokan, yang dimiliki gradasi abuabu dan hitam.
huh.. biar. biar saja terjamahi sampai hasrat menggelegak lalu bosan. terang dan kelam hanya persoalan keberadaan atau ketiadaan sinar. yang kurasai basah lenguh berbatas peluh, juga kering gersang hamburkan debu. masih saja sama. berakhir kesepian.

sejauh cahaya selimuti padang, sedalam apa titik air setubuhi kembang. sekedar berakhir dengan ratapan yang semakin lama terdengar memuakkan. sebut saja aku bukit, bukan lagi amarah yang kusertakan. berdamai keharusan tanpa elak sangkal. kuterima nasib sebagai hakekat atau kebiasaan. tak pedulikan mana terpuaskan. atau aku juga menikmati berangsur kerelaan. sebut saja pelayanan! di rahimku tumbuh berbagai macam tumbuhan, biar saja! meski murahan! kutampung air mani hewan, juga lenguh sinar.

sebut saja aku bukit, menyebut kekasih bagi seorang pujangga yang setia datang. hinggap temani di pusara bercakap dengan keluhan,
mencuri setiap lara yang tak terelakkan.
---
Jepara-awal Juli 2006
---