Copyright © dahanpinus
Design by dahanpinus
Dec 28, 2015

aku mencoba paham, dan berdamai dengan hati

asal kau tahu saja
(aku mencoba paham, dan berdamai dengan hati)

Yoseph'...

hatiku sudah tertinggal sejak memandang papirus
juga bunga-bunga bungur serta biji-biji saga yang berguguran
atau entah tabubeya yang berkembang kuning terang
lalu cerita tentang trembesi yang tak pernah berluruhan
meski kemarau panjang

atau juga pohon yang kukira randu
-dengan kapas beterbangan bagai salju-
lalu aku sembunyikan malu,
dengan geli karena kebodohanku,
bersitegang dengan seorang botanis
dengan keahlian pemeliharaan

lalu sejak entah kapan,
imajimu begitu mencengkeram
tak pernah kuasa menolak ajakan
dimana kutemui serendipiti yang hentikan waktu,
dengan bercumbu bersama gurauan

kita memang bermimpi,
atau mengendarai mimpi
tentang kepingan keabadian
yang mengisi lakuna,
lahir dari rasa yang nircipta
seperti banyak kisah romans yang indah,
namun tragis di akhiran

dalam nuansa guguran bungur,
tabubeya,
kapuk,
atau dedaunan

yang kita hayati,
bahwa masing-masing mempersembahkan kehidupan
dengan teramat indah,
dan sukar untuk dilupakan

Kau tahu,
kisah kita sepertinya akan berakhir dengan kegetiran
atau sudah,
atau mungkin

seperti Minke dan Annelies
juga Laila dan Majnun
atau Gibran dengan May Zaidah

dan asal kau tahu,
aku meresapinya
berdamai dengan hatiku,
untuk tak menafikannya

seperti Majnun dan Minke
yang menghayati sakitnya dengan kegilaan
- Majnun yang menghirup sekuatnya angin dari arah desa Laila, dengan segenap rasa
dan sedalamnya dengan satu keyakinan bahwa sebelumnya angin pastilah menyentuh tubuh Laila -

Juga Minke,
atau Annelies kalau kau ingin contoh perempuan
yang mendadak membuat dirinya gila,
dengan berdiam diri sepanjang samudera
sampai ke Holland,
dan menatap kosong kehidupan,
karena menganggap Minke tidak cukup berjuang
untuk mendapatkan

dan tahukah kau,
mereka adalah perwakilan dari kisah kenyataan
yang kita anggap dongeng sekarang,
juga terlalu dramatis untuk senyatanya kehidupan
entahlah, jika kau anggap;
kita,
aku,
kamu
apapun yang ideal
untuk satu hubungan
yang sedikit kemungkinan terbumikan

asal jangan kau anggap kita bermusuhan
karena
untukku
atau
kita
tidak akan adil
jika kita sekarang
memberi kesempatan pada orang 'lain' berteman
sedangkan kita sendiri,
mencoba untuk saling mematikan
- bukankah kita sepasang kekasih
yang tak elok untuk diucapkan dengan lantang -

Aku paham,
jika sesekali atau seringkali mata kita pejamkan
agar menghindarkan
imajimu
dan imajiku
agar tidak terlalu bergetar

tapi ingatlah hati,
tidak akan mungkin kita pejamkan
untuk melupakan setiap kenangan
di pepohonan dan bunga yang kita bincangkan
juga disudut sudut kota tempat kita
hentikan masa dengan cumbuan

Marilah kita ukur,
siapa yang lebih gila duluan,
atau yang lebih besar dengan penderitaan
Majnun atau Laila
Minke atau Annelies

akan aku katakan,
aku berdiri disini
dalam perjalanan sunyi,
terkurung keterasingan
maka aku rentan
pada semua ketidakmapanan,

aku merenungi ketidaksiapan,
meratapi setiap tarikan nafas
dengan ketiadaan
akan bayangmu yang selalu datang
meski aku berbincang dengan puluhan orang
jua memikirkan hal yang tak ada kaitan
Aku hancur,
sejak
maaf
maaf
maaf
maaf
-mu
kau ulang

-hancur-

karena kau juga tak paham
akan ceritaku tentang kerapuhan
saat terbelenggu kesunyian

dan kau,
kau dilingkupi oleh banyak kasih sayang
tempat yang nyaman yang membuatmu sekuat ilalang
yang setiap saat akan datang siapapun,
atau apapun yang menarikmu
saat kau tenggelam dalam ketidakwarasan,
atau tempatmu bersandar
saat kau tak kuasa menahan tangisan

asal kau tahu,
aku tidak baik-baik saja
dalam halusinasi berkepanjangan,
putus asa seperti mayat hidup yang berjalan
dengan rutinitas sedangkan pikiranku melayang
ke situs dan candi juga jalan-jalan
tempat kita mengelabui waktu

Kau pasti akan menyanggah
bahwa yang lebih gila adalah dirimu
meski aku tidak akan percaya,
dengan alasan bahwa kau dalam lingkungan nyaman
dengan lingkup kasih sayang yang berlebihan
seperti yang telah kukatakan

Namun,
hari ini aku membaca lagi kisah Laila juga Annelies
dimana perempuan memiliki cara,
untuk menghayati dengan sangat dalam
meski mereka tampak menerima
keadaan dengan tenang

seperti laila yang mempertanyakan
tentang sebentuk kegilaan yang dikumandangkan Majnun
dengan sebuah kalimat yang berujung pada kematiannya;

"Engkau bisa menggunakan pelampiasan kerinduan dengan puisi,
bertingkah gila dan berteriak sesukamu.
Tetapi aku memendamnya sendirian,
membiarkan api membakar tubuh dari dalam, bertahun-tahun.
Jadi,
masihkah kau pantas dirimu yang paling menderita karena kenyataan?"

Aku semakin paham;
karena Annelies juga memendam perasaan itu dengan diam,
sampai api itu merenggut hidupnya
sementara Minke melampiaskan,
kemarahan akan kegilaannya
dengan menulis dan bertualang.

Baiklah, akhirnya aku paham
tak pantas mempertanyakan penderitaanmu
juga kegilaan yang kuanggap
tak sepadan dengan yang kurasakan

dan aku yakinkan,
meski aku laki-laki,
rasa ini tidak sekedar
dan sepintas lalu hasrat hilang
dia telah menetap,
memintaku tetap berdiri
berdamai dengan hati,
dengan satu keyakinan

bahwa kita akan menghargai dengan kekaguman
juga satu pengetahuan
bahwa tak adil bagi kekasih
-meski tak elok diucapkan lantang-
untuk jadi bermusuhan,

dan ini adalah,
bagian dari kita sebagai terpelajar
dengan berdamai juga adil sejak dalam pikiran,
juga rasa dan tindakan

ingatlah,
bahwa aku menghayati rasa menjadi sebuah kerinduan spiritual,
sesuatu yang tak memerlukan kata untuk mengungkapkan
lalu akan terdengar lewat kesunyian malam dan derai hujan
seperti Gibran dan May yang meresapi tanpa tatapan
----
Desember 28, 2015

Berharap Desember cepat berlalu
Bungur itu, Sakura...

0 comments: