Copyright © dahanpinus
Design by dahanpinus
Dec 1, 2005

Kebenaran Subyektif

Seringkali dalam hubungan keseharian, kita menumpahkan segenap perasaan hati kita kepada orang lain dengan beraneka pesan. Pesan yang disampaikan tersebut menurut Wittgentstein memiliki 2 dimensi yaitu transaksional dan Interaksional. Adapun transaksional adalah suatu pesan komunikasi yang memiliki isi berita atau informasi, sedangkan interaksional berarti suatu pesan komunikasi berfungsi hanya sebagai penjalin hubungan, pemecah kesunyian, sekedar basa-basi (icebreaker). Seorang mahasiswa dari luar kota yang menulis surat tiga kali seminggu untuk pacarnya bisa jadi contoh dari komunikasi yang bersifat interaksional, dimana tujuan utama dari berkirim surat bukanlah utama sebagai penyampai berita tetapi lebih kepada menulis surat itu sendiri sebagai tujuan untuk memperkuat hubungan. Tentu saja konteks tersebut akan berbeda saat mahasiswa yang sama berkirim surat pada akhir bulan kepada orang tuanya, mengingat kebutuhan mahasiswa akan pemberitahuan bahwa uang bulanannya habis dan minta segera dikirim.
Dalam berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain acap kali menyinggung diri personal oarang lain atau dengan kata lain kadang kala tidak secara proporsional mencela orang lain. Sebagai makhluk individu sekaligus sosial manusia secara instingtif selalu berusaha untuk menjalin hubungan kepada sesama (intersubyektif). tentu saja hubungan tersebut terwujud dengan adanya komunikasi. Komunikasi yang terjadi sebagai tindakan sosial manusia seringkali melibatkan berbagai macam topik, topik tersebut terbentuk dari tingkat keakraban individu. Keakraban yang berdasarkan trend of interest (ragam kepentingan), seperti : ras, klas, gender, agama dan latar belakang lainnya.
Jadi seringkali kebenaran itu berangkat dari ragam kepentingan para individu sebagai penafsir dan penyampai pesan dalam melakukan interaksi sosial. Kebenaran adalah subyektif kira-kira begitulah pernyataan yang diyakini oleh sebagian besar filsuf eksistensialis. Pernyataan tersebut berarti bahwa interpretasi dan persepsi serta nilai kebenaran masing-masing individu bisa jadi berlainan. Keberagaman persepsi tersebut merupakan analisa kesadaran yang berhubungan dengan beberapa obyek yang ditekankan kepada obyek-obyek terseleksi (pengalaman). Kebenaran menurut filsuf Amerika, Whitehead merupakan suatu konformitas (penyesuaian diri) dan kualifikasi dari kehadiran suatu realita. Kebenaran adalah sebuah kualitas dengan masing-masing tingkatan dan ragam.
Sebenarnya kebenaran memiliki aspek yang misterius, seperti yang diungkapkan oleh Nietzsche, “jika cadar kebenaran itu dibuka apakah kebenaran itu tetap ada sebagaimana dulu kebenaran itu diyakini.” Tidaklah berlebihan jika kebenaran yang dibuat oleh manusia selalu berubah-ubah nilainya sesua dengan kondisi sosio-ekonomis dan ideologis manusia pelakunya.
Karena kebenaran itu subyektif maka seseorang hanya dapat menghidupkan gagasan kebenaran yang berubah (Jean Baudrillard). Jka pada Orde baru tindakan demostrasi adalah tindakan yang tidak dibenarkan, maka demonstrasi pada saat ini boleh jadi dibenarkan dan tentunyapara pelakunya tidak serta merta ditangkap dan dimasukkan sel sebagaimana pada Orde Baru.
Menganalogikan pada fenomena diatas, maka sering kali manusia mempergunakan bahkan memaksakan kebenaran diri beserta standarisasi nilai-nilai kebenaran diri kepada realita dan fenomena yang melekat pada orang lain. Dari kacamata itulah maka, menurut diri sendiri “tidak ada orang lain yang lebih baik”. Kerangla keyakinan dan ideologi diri seringkali berfungsi sebagai camera obscura, sehingga realita yang terekam di benak akan direpresentasikan terputar balik sesuai persepsi diri kita.
Memang tak ada salahnya memberikan pandangan bahkan kritik kepada pihak lain, sejauh hal tersebut sekaligus sebagai cermin diri, sehingga menyadari bahwa kesempurnaan bukan milik diri, dia adalah sebuah prosesi atau jalan menuju kebijakan diri.
Menurut Mead, manusia perlu memahami bahwa kesalahan dan kekurangan orang lain bisa juga menjadi kesalahan dan kekurangan kita. Kita dapat memahami diri kita melalui pandangan orang lain terhadap kita (generalized others), atau dengan kata lain kita mengambil peran sebagai orang lain (role taking), sehingga lebih arif dalam menilai orang lain.
Dan yang perlu diingat ialah bahwa kebenaran atau nilai yang kita yakini terhadap orang lain (stereotip), bukanlah persepsi yang netral dan bebas nilai serta mutlak benar, sehingga rasanya tak manusiawi jika kita memaksa orang lain, untuk mengikuti atau menggunakan kacamata kebenaran kita bahkan menghakimi orang lain dengan sudut pandang kita.

2 comments:

raChmat supriatna says:
at: 3:42 PM said...

kebenaran memang tak bisa dipaksakan, seperti cinta, hehe..
Btw, bikin background pake gambar kita sendiri gimana caranya? Nge-blue gini adem banget!

Anonymous
at: 4:47 PM said...

hmm....another article for another newspaper kah??? :) Salut pak...