Copyright © dahanpinus
Design by dahanpinus
Mar 14, 2006

Kinan dan Kunang (Romans ilusi)



30 detik sampai beberapa menit berlalu begitu berarti, dan apa yang dikatakan oleh ahli administrasi publik, bahwa inti pelayanan adalah manfaat. Dan jelaslah bahwa filsuf pernah ungkapkan bahwa penilaian paling mudah ialah dengan melihat makna yang diberikan.

30 detik atau sampai beberapa menit tetap saja berarti meski menunggu sebuah lampu hijau berganti lampu merah, kesempatan bagi pejalan kaki untuk bersombong diri dan pemaksaan bagi pengendara untuk berhenti.

Untuk 30 detik atau sampai beberapa menit, saat itu Kinan dan Kunang mengada dan ada bersama dalam ilusi atau mungkin kenyataan yang membingungkan.


Kinan

Aku menyukai lampu hijau sama seperti aku menyukai lampu merah, dengan 2 kontradiksi itu kita dapat nikmati saja 30 detik atau sampai beberapa menit jari kita bersatu. Dan berpikir bahwa jalanan dan lalu lalang sedang berpihak pada kita, saat lampu merah itu tiba. Bila kita menyeberang sampai diujung sana, hati tertaut terangkum disela jari akan kembali ke dalam sanubari sendiri. Tapi jangan kau ragu bahwa esok akan kembali, untuk menikmati lampu merah-hijau di perempatan jalan ini.

Kunang
Aku selalu menyukai momen yang berkesan, dari seorang perempuan yang kurelakan menjadi pemimpin saat menyeberang jalan. Atau mungkin hanya untuk mengisi kerapuhan sebagai pria yang begitu silau oleh kecantikan. "Pandulah aku ke seberang sana, terseret bersama wangi kinanthi yang menyelimuti dan kurasakan bahwa aku sedang berada di taman kembang, bukan melintasi jalan raya yang memuakkan."
Bila sampai diseberang kejutkan aku saja untuk kembalikan, hasrat dan hati yang kembali ketempatnya, lalu akan kuhapuskan rasa malu dan jengah bagai pertama kali bercinta.

Kinan
"Hentikan kebiasaan bercinta dengan khayalan, agar kau paham bahwa trance atau ekstase yang kau dapatkan, hilang saat tersadar." Kenyataan adalah nakhoda kehidupan, dan senyatanya kau membuat lampu merah hijau begitu berkesan untuk sekedar dilewatkan sendirian, dengan muka masam keletihan. Dan pada kenyataan diriku bunga yang telah bernaungan, pergi sekedar untuk dihadirkan dalam pameran, dan kemudian kembali pada pawang.
Saat kita tiba di seberang dan lampu hijau ke-2 datang, relakan saja sesaat yang tadi bermakna menjadi sebuah ketiadaan.

Kunang
Sungguh aku belajar selami ketiadaan, juga khayalan adalah teman bagi pemuja kesendirian. Rite of passage yang berarti larangan, akan dapat kugenggam dalam impian. Meskipun ketidakseimbangan realita dan utopia seperti beban menghimpit memusingkan bagai bangun kesiangan.
Sudah kurelakan semua yang mungkin tak kudapatkan, karena bukan sebuah kepatutan. Dan kau adalah sebuah kinanthi, yang ingin kuberi papan larangan meski dalam impian-Jangan memetik atau berarti kematian-

Kinan
Kupahami kemarahan atau kekecewaan yang memang perlu kau lampiaskan. Berikan saja caci maki saat lampu merah waktu kita menyeberang kepada para pengendara yang diam.
Meludah pun kau pasti akan dibiarkan. Dan sepantasnyalah mereka biarkan, beri kesempatan untuk kehadiran pejalan, meraih satu tujuan. Atau nikmati saja hari saat kita bergandengan, tanpa hiraukan realita lain yang menunggu kita untuk beredar.

Kunang
Ya, carpe diem. Nikmati hari ini, seolah esok tidak akan datang. Marilah kita berpesta dalam 30 detik atau sampai beberapa menit kedepan. Kita habiskan masa singkat dengan kebahagiaan dan sedikit keliaran, seperti sepasang hedonis yang mencari pemuasan hasrat terpendam.
Jangan kuatir terhadap kegilaan yang kurasakan, karena bila sampai diseberang aku akan tersadar dengan senyuman untuk jengah dan malu yang bersama kita rasakan.
Dan orang, tentunya tidak akan mempercayai bahwa impian atau khayalan akan merugikan serta merusak kepercayaan.

Kinan
Kau hidup dalam kegilaan, yang sebenarnya tak benar dapat kupahamkan. kadang kau beri sebuah kehidupan lain serta harapan yang menyertai, lalu kau tinggalkan dengan kebingunan.
Menghibur sekaligus mencekam. Tapi satu yang benar kumengerti bahwa yang kau beri hanya kau beri tanpa kau harapkan kembalian, dan kadang yang kau beri ku kenal sebagai penderitaan.
Tak pernah kumengerti pencapaian yang kau harapkan, karena kadang Carpe diem yang kau katakan dan Ad astra per aspera di lain hari kemudian. Sebuah paradoks yang membingungkan. Menuju bintang dengan penderitaan, dan kebahagiaan bukanlah gratisan. Dalam realita kau jalani dengan kegilaan sekaligus proses panjang usaha penderitaan. Dan bila kebahagiaan telah kau dapatkan maka kemudian kau habiskan, seolah mudah untuk kau dapatkan. Dimanakah kebenaran ?

Kunang

Kebenaran kita dapatkan dalam pikiran, bukan panca indera yang mencerap suatu kehadiran. Atau itulah sebenarnya yang berusaha kuambil sebagai pandangan kedepan. Jika kita berpikir bahwa khayalan yang nyata, maka realita-lah yang sebenarnya ilusi. dan seperti diungkapkan oleh Calderon de la Barca bahwa 'Apakah kehidupan itu? Sebuah Ilusi, sebuah bayangan, sebuah cerita, dan keutamaannya sangat sedikit, sebab seluruh kehidupan hanyalah impian..'
Dan kau adalah bidadari...
yang telah dimiliki langit kelam, dengan secuil hati yang tak terduga kita tukarkan dan masih saja enggan aku kembalikan.
Pahamilah, aku mencoba untuk membiasakan, dengan kepahitan.Panta rei, segalanya akan mengalir, berubah dan air yang mengalir di sungai bukanlah air yang sama. Suatu saat kau akan bosan atau pergi saja tanpa pesan, aku akan maklumkan. Dalam penderitaan kadang kita tak perlu menyertakan kehidupan lain untuk juga turut merasakan.
Sebentuk cinta yang kuberikan, akan kupastikan untuk tak harapkan belas kasihan dan umpan balik sebagai balasan atau tuntutan.

Kinan

Tadi malam aku bertemu Descartes yang sering kau ceritakan. Meski tak jelas apa yang dia katakan tapi aku memahami beberapa kalimat yang diucapkan, karena aku sering mendengarnya darimu. Cogito ergo sum-Hidup yang kita yakini bisa jadi sebuah impian dan impian yang kita laksanakan adalah kenyataan yang kita jalani-
Saat itu aku yakin, pertemuan dengan Descartes adalah sebuah realita, dan kehidupan yang kuingat hanya sekedar impian, juga kau... kau impian.Tetapi saat kubangun impian itu ialah impian dan kenyataan adalah realita bahwa kepalaku pusing karena memikirkan.
Dan... aku tak tahu pasti apakah ini juga impian dan aku bangun dengan realita yang lain kemudian. Tapi kupahami, kau benar akal yang membuat kita tetap hidup, apakah kegilaan sebagai realita atau kenyataan sendiri yang kita rasakan.
Kunang tolong... tunggulah aku di perempatan tempat lampu merah-hijau itu berdiri menantang, dan jangan kau biarkan aku sendiri dalam kegilaan...
---
14 3 2006
---
Maaf jika terlalu panjang.

2 comments:

Anonymous
at: 6:03 PM said...

hmmm romans ilusi, dan kadang saya merasa ilusi saya nyata :)

Anonymous
at: 9:17 PM said...

ilusi yang hampir nyata
biarkan dia kembali kedunia maya...
dimana merah dan hijau menjadi satu warna

tunggu dia diujung jalan itu
setelah puluhan pengendara kau ludahi
karena menatap mu penuh tanya....
sampai kapan ilusi ini kau nikmati